Pengelolaan Pajak Terkait Kriteria Pemilihan Pajak Daerah

Penulis Oleh :
Nama : Dana Suhartati
NIM : 182020100097
Prodi : Administrasi Publik
Universitas Muhammadyah Sidoarjo
Sebagai salah satu komponen penerimaan PAD, potensi pungutan pajak daerah lebih
banyak memberikan peluang bagi daerah untuk dimobilisasi secara maksimal bila dibandingkan
dengan komponen-komponen penerimaan PAD lainnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor,
terutama karena potensi pungutan pajak daerah mempunyai sifat dan karakteristik yang jelas,
baik ditinjau dari tataran teoritis, kebijakan, maupun dalam tataran implementasinya. Badan
Pengelolaan Pajak dan Retribusi Daerah, mempunyai tugas melaksanakan sebagian
urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan
dibidang Pendapatan Daerah.
Ketersediaan kemampuan keuangan daerah dipandang perlu untuk ditingkatkan dengan
melakukan berbagai upaya, salah satunya adalah memaksimalkan Penerimaan Asli Daerah
(PAD) melalui Pajak Daerah dan Retribusi Daerah agar ketergantungan pembiayaan daerah
tidak semata-mata mengharapkan sepenuhnya Dana Bagi Basil (DBH) dari Pemerintah Pusat.
Sejalan dengan penjelasan diatas, UU N0. 28 Tahun 2009 tentang PDRD, sebagai pengganti dari
UU N0. 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 34 Tahun 2000 juga lebih
mempertegas pengertian pajak dalam tataran pemerintahan yang lebih rendah (daerah), sebagai
berikut:
“Pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.”
Dalam mempertimbangkan pemungutan suatu pajak daerah, ada beberapa kriteria yang
perlu diperhatikan, utamanya yield atau hasil yang diperkirakan dapat diperoleh dan pemenuhan
unsur-unsur keadilan. Hasil dari pajak harus sesuai dengan pengeluaran yang akan dibiayai.
Beberapa pajak yang memberikan hasil kecil cenderung tidak efisien dan menciptakan resistensi
dari wajib pajak. Hasil dari pajak sebaiknya tidak mengalami fluktuasi yang besar dari tahun ke
tahun, karena hal tersebut menyulitkan dalam perencanaan pengeluaran. Beberapa pajak atas
produksi hasil pertanian kemungkinan sulit untuk diprediksi karena faktor iklim yang tidak
menentu. Idealnya, hasil dari pajak sebaiknya meningkat secara otomatis seiring dengan inflasi,
pertumbuhan populasi dan meningkatnya pendapatan. Pajak penghasilan progresif elastis
terhadap ketiga hal tersebut, sementara “poll tax” hanya elastis terhadap populasi dan tidak
kepada dua aspek yang lain. Pajak “ad valorem” (yaitu, persentase pajak dari nilai objek pajak
akan jauh lebih elastis dibandingkan dengan pajak yang jumlahnya tetap dalam bentuk nilai
uang).
Catatan yang perlu diingat bahwa tarif pajak dapat ditingkatkan seiring dengan inflasi,
dan apabila keputusan politik atau tindakan administrasi dibutuhkan maka hal tersebut tidak
dapat terjadi secara otomatis. Rasio antara biaya pemungutan dan hasil dari pajak sebaiknya
sekecil mungkin. Populasi penduduk dengan tingkat penyebaran yang luas, masalah transportasi
dan infrastruktur menyebabkan biaya pemungutan di negara-negara berkembang menjadi tinggi.
Hal ini menyebabkan pajak atas kegiatan sektor informal menjadi mahal karena biayapemungutan yang tinggi.